Dampak Kekeringan terhadap Sektor Pertanian: Proyeksi Iklim, Kekurangan Indeks Kekeringan, dan Solusi AI untuk Mitigasi di Masa Depan

Indonesia sebagai negara yang mengandalkan sektor pertanian menghadapi bencana yang merugikan seperti fenomena kekeringan. Fenomena kekeringan terjadi defisit curah hujan dibandingkan rata rata tahunan di area tertentu . Fenomena kekeringan meningkat intensitasnya disebabkan perubahan iklim. Hal ini dapat dibuktikan di laporan Assesment Report 5 menjelaskan kejadian fenomena kekeringan dari periode 1844 hingga 1960 hanya terjadi 3-4 tiap tahun, kemudian periode 1961 hingga 2006 menjadi 2-3 tiap tahun . Oleh karena itu, fenomena kekeringan yang meningkat intensitasnya berpengaruh pada produksi tanaman.

Penelitian tentang dampak kekeringan yang berkepanjangan terhadap produksi tanaman menunjukkan berpengaruh signifikan bahwa produksi padi, jagung, dan kedelai menurun disebabkan frekuensi El Nino yang meningkat dan peningkatan jumlah hari tanpa hujan . Tanaman padi mengalami kekeringan saat El Nino kuat pada 1997 dan 2015 seluas 513 ribu Ha dan 597 ribu Ha. Luas padi yang mengalami kekeringan saat El Nino lemah hingga sedang adalah 870 ribu Ha pada 1991, 539 ribu Ha pada 1994, dan 538 ribu Ha pada 2003 . Dampak ini tidak hanya menyebabkan penurunan produktivitas tanaman tetapi juga memengaruhi stabilitas ketahanan pangan nasional. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan disebabkan skenario iklim diproyeksikan kejadian kekeringan meningkat secara frekuensi dan intensitas di masa depan sehingga sektor pertanian dan pangan berisiko gagal panen.

Kekeringan yang diproyeksi meningkat terjadi sehingga perlu ada pola tanam dengan pola iklim masa datang. Peneliti melakukan riset dengan berbagai skenario bagaimana iklim di masa depan. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendirikan lembaga untuk membahas iklim, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Tujuan IPCC adalah memproyeksikan perubahan iklim secara global dan regional hingga tahun 2100. Proyeksi iklim yang dilakukan semakin jauh menyebabkan ketidakpastian semakin besar. Skenario iklim dikenal adalah Representative Concentration Pathways (RCP) . Skenario RCP terdiri dari 4 skenario yaitu RCP2.6 (mitigasi agresif, kenaikan radiative forcing 2.6 W/m2), RCP4.5 (mitigasi menengah-ringan, radiative forcing 4.5 W/m2), RCP6.0 (mitigasi menengah-tinggi, radiative forcing 6.0 W/m2), dan RCP8.5 (business as usual, radiative forcing 8.5 W/m2). Skenario yang disepakati negara negara yaitu skenario RCP2.6 agar kenaikan suhu Bumi tidak melebihi 2.

Skenario model iklim diperbaharui dengan model yang baru yaitu CMIP6 (Coupled Model Intercomparison Project). Model terbaru lebih memiliki beragam model yang dianalisis, kemampuan resolusi temporal dan spasial yang tinggi, dan evaluasi dan validasi model dengan data observasi lebih ketat. Penelitian mengenai proyeksi kekeringan global menggunakan model iklim CMIP6 menjelaskan tren kekeringan di seluruh dunia mengalami peningkatan signifikan . Indeks kekeringan yang digunakan ialah SPEI (Standarized Precipitation Evaporation Index) yang mana mempertimbangkan curah hujan dan potensi evapotranspirasi . Namun ada kekurangan dari SPEI seperti faktor kekeringan tidak hanya curah hujan dan evapotranspirasi, tetapi juga ada faktor penting lain seperti kelembaban tanah, kondisi hidrologis, atau perubahan penggunaan lahan.

Solusi yang diberikan dari para peneliti dengan membuat indeks kekeringan baru. Bantuan dari Artificial Intelligence (AI) agar menganalisis data cuaca dan iklim sehingga membuat indeks kekeringan baru. Salah satu penelitian yang membahas indeks kekeringan baru yaitu Drought Prediction using Artificial Intelligence Models Based on Climate Data and Soil Moisture . Model decision tree (DT), generalized linear model (GLM), support vector machine (SVM), artificial neural network (ANN), deep learning, dan random forest digunakan mengembangkan indeks kekeringan meteorologis baru. Hasil menunjukkan secara keseluruhan indeks berbasis AI lebih menungungguli daripada indeks kekeringan yang sebelumnya. Hasil yang ditemukan ini dapat berkontribusi pada prakiraan dan pemantauan kekeringan lebih akurat sehingga andal dalam mitigasi kekeringan yang lebih baik.

Scroll to Top