Cuaca & Iklim

Cuaca & Iklim, Polusi Udara

Buruknya Kualitas Udara di Jakarta Menyebabkan Penurunan Angka Harapan Hidup

Akhir-akhir ini Jakarta seringkali dicap sebagai kota dengan polusi terparah di dunia. Asumsi ini muncul dan didukung dengan banyaknya berita yang menjelaskan bahwa kualitas udara di Jakarta sangatlah buruk. Sekitar 10,56 Juta penduduk Kota Jakarta terpapar polusi partikulat melebihi pedoman batas wajar World Health Organization (WHO) yang telah direvisi, yaitu sebesar 5 μg/m3 (Greenstone dkk., 2022). Hal ini disebabkan oleh banyaknya sumber utama polusi partikulat di sekitar Kota Jakarta, seperti gas buang industri dan emisi kendaraan bermotor. Bahkan saat ini, kendaraan bermotor di Jakarta menyumbang sekitar 31,5 % dari polusi partikulat kota (Santoso dkk., 2013). Selama beberapa tahun terakhir, semakin banyak penelitian yang mengkaji tentang dampak kualitas udara bagi kesehatan. Salah satu kajian yang menarik adalah mengenai polusi partikulat/PM yang menjadi bagian utama dari polusi udara. Polusi partikulat atau Particulate Matter (PM) merupakan campuran partikel padat dan tetesan cairan yang ditemukan di udara (EPA, 2022). Salah satu PM yang menjadi masalah utama bagi kualitas udara ialah PM2,5. PM2,5 adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer), umumnya bersumber dari semua jenis pembakaran, termasuk kendaraan bermotor, pembangkit listrik, kebakaran hutan, dan sebagainya (EPA, 2022). Paparan tingkat PM2,5 yang tidak sehat berdampak pada kehidupan manusia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang Menurut WHO (2018), lebih dari 7 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit yang berhubungan dengan polusi udara. Hal tersebut menunjukkan bahwa polusi partikulat merupakan masalah yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyaknya bukti ilmiah tentang dampak negatif paparan polusi partikulat terhadap kesehatan pada konsentrasi yang relatif rendah menyebabkan WHO memperbarui panduannya tentang tingkat polusi partikulat yang dapat diterima dan dihirup manusia pada 22 September 2021. WHO (2021) merevisi pedoman batas wajar polusi partikulat tersebut dari 10 μg/m3 menjadi 5 μg/m3. Ini merupakan revisi pertama sejak WHO menetapkan panduan kualitas udara pada tahun 2005. Keputusan WHO untuk merevisi pedomannya dengan jumlah yang signifikan merupakan sinyal kuat bahwa polusi udara lebih mematikan daripada yang diperkirakan sebelumnya. AQLI (Air Quality Live Index) yang dikembangkan oleh EPIC (The Energy Policy Institute at Chicago) atau Institut Kebijakan Energi di Universitas Chicago membuktikan bahwa polusi udara adalah ancaman utama dunia terhadap harapan hidup. AQLI memperkirakan hubungan antara polusi udara dan harapan hidup dengan melihat perolehan harapan hidup yang mereka alami jika komunitas mereka memenuhi pedoman batas wajar paparan polusi partikulat dari WHO. Penelitian yang dilakukan oleh AQLI menunjukkan bahwa paparan 10 g/m3 PM2,5 secara konsisten dapat mengurangi angka harapan hidup manusia hingga 0,98 tahun (Greenstone dkk., 2022). Menurut penelitian ini, polusi udara merupakan resiko terbesar bagi kesehatan manusia. Angka harapan hidup rata-rata global per orang yang hilang akibat polusi partikulat adalah 2,2 tahun, bahkan lebih banyak daripada merokok, minum alkohol, narkoba, bahkan konflik. Saat ini Kota Jakarta secara konsisten memiliki tingkat kualitas udara yang tidak sehat sepanjang tahun. Hal ini dibuktikan dengan hasil pantauan konsentrasi PM2,5 di BMKG Kemayoran Jakarta yang menunjukkan bahwa sepanjang bulan Juni 2022 konsentrasi rata-rata PM2,5 berada pada level 49.07 µg/m3. Tercatat pada tanggal 15 Juni 2022, konsentrasi PM2,5 mengalami lonjakan konsentrasi tertinggi yang berada pada level 148 μg/m3 (BMKG, 2022). AQLI (2022) menjelaskan bahwa paparan berkelanjutan terhadap tingkat kualitas udara di Jakarta ini dapat meningkatkan resiko kematian hingga 4,8 tahun. Semakin sedikit polusi udara yang dihirup, semakin baik kesehatan kita. Itulah mengapa di kota-kota besar seperti Jakarta, penting bagi kita untuk melacak kualitas udara di luar rumah dan menyesuaikan gaya hidup dengan tingkat polusi. Ketahui kapan kita harus membuka atau menutup jendela. Ketahui kapan kita harus memantau dan menyaring udara di dalam rumah. Kita juga bisa memantau indeks kualitas udara pada laman bmkg.go.id, jika kualitas udara “Tidak Sehat”, sebaiknya kurangi waktu di luar rumah, terutama kegiatan  olahraga. Namun, jika terpaksa untuk beraktivitas di luar rumah, setidaknya batasi waktu selama di luar, hindari jalan yang sibuk, dan memakai masker. Selain itu, kita semua berharap kepada pemerintah untuk segera merumuskan perubahan kebijakan agar mengembalikan udara yang lebih bersih. Adapun beberapa hal yang dapat dilakukan adalah  mengesahkan peraturan yang lebih ketat tentang pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil, mengubah angkutan umum menjadi kendaraan listrik, dan mempercepat transisi menuju energi terbarukan. Harapannya kebijakan tersebut dapat berkontribusi pada peningkatan kesehatan dan peningkatan angka harapan hidup warga negara. Author : Fadhil Muhammad Aslam   DAFTAR PUSTAKA EPA. (2022, Juli 18). Particulate Matter (PM) Pollution. Greenstone, M., Hasenkopf, C., & Lee, K. (2022). Annual Update. https://www.bmkg.go.id/berita/?p=perkembangan-terakhir-kondisi-kualitas-udara-di-wilayah-jakarta-dan-sekitarnya&lang=ID&tag=apps-info-bmkg “Provinsi DKI Jakarta Dalam Angka 2021”. Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta Santoso, M. , Lestiani, D. D. , & Markwitz, A. (2013). Characterization of airborne particulate matter collected at Jakarta roadside of an arterial road. Journal of Radioanalytical and Nuclear Chemistry, 165–169. World Health Organization. 2021. “New WHO Global Air Quality Guidelines aim to save millions  of lives from air pollution.”  

Arsitektur Bangunan, Cuaca & Iklim

Pengaruh Kondisi Iklim terhadap Arsitektur Suatu Bangunan

Pengaruh iklim bagi arsitektur bangunan dapat dilihat dari beberapa segi, diantaranya adalah dari segi bentuk arsitektur dan bahan bangunan. Perancangan arsitektur bangunan seharusnya memperhatikan keselarasan dan kesesuaian antara kebutuhan manusia dengan kondisi lingkungan sekitar, alam bahkan cuaca maupun iklim yang ada di suatu wilayah. Seiring dengan hal tersebut, pemilihan bahan / material bangunan dan penggunaan teknologi bahan pada suatu bangunan diharapkan agar alami dan tidak memberikan dampak negative terhadap kelestarian alam dan habitatnya serta keberlangsungan hidup makhluk yang ada di sekitarnya. Arsitektur yang berupa bangunan dan lingkungannya yang dibangun untuk mampu menjawab kebutuhan manusia dan mengangkat derajat hidup manusia menjadi lebih baik, sehingga tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kebudayaan mausia dan perbedaan iklim yang ada di wilayah tersebut. Arsitektur merupakan buah dari budaya yang dikembangkan oleh masyarakat secara terus menerus (Rapoport, 1969). Arsitektur bangunan yang menyesuaikan diri dengan alam dan iklim sangat banyak dijumpai di permukaan bumi yang tersebar di berbagai wilayah pembagian iklim. Bangunan tersebut masih tetap eksis / bertahan hingga sekarang atau terjaga sustainabilitasnya. Salah satu indikator keberhasilan bangunan dalam menjaga keberadaannya adalah pemakaian energi yang efisien atau hemat (Imran, 2013). Dalam proses perancangan arsitektur pengaruh iklim dipusatkan pada aspek kenyamanan manusia pada suatu bangunan dimana aktifitasnya terlaksana. Aspek-aspek tersebut adalah (Irfandi, 2009) Radiasi matahari Pergerakan udara Kelembaban udara Curah hujan Suhu udara rata-rata   Faktor-faktor yang mempengaruhi pada perancangan arsitektur ditinjau dari iklim antara lain: Orientasi bangunan terhadap lintasan matahari, angin, dan sistem jalur jalan. Karakteristik material bangunan terhadap iklim. Penerangan sekeliling bangunan. Letak, luas permukaan pada sisi bangunan. Tinggi bangunan. Prosentasi luasan penghijauan Prinsip dari desain arsitektur tentunya akan mempertimbangkan zona iklim yang berbeda-beda di bumi ini yang dapat ditinjau lebih lanjut sebagai berikut: Iklim Gurun Iklim gurun/kering memiliki ciri penguapan lebih besar daripada curah hujan sepanjang tahun, tidak ada surplus air juga sumber sungai permanen Prinsip desain arsitektur untuk iklim gurun berfokus pada: Mencegah panas: Memposisikan bangunan sedemikian rupa sehingga mengurangi paparan sinar matahari langsung pada dinding bangunan. Menggunakan material dengan kapasitas panas rendah dan reflektif terhadap panas, seperti batu bata ringan atau plesteran putih. Memanfaatkan angin malam yang sejuk dengan menciptakan ventilasi alami yang baik. Menyimpan panas: Menggunakan material dengan kapasitas panas tinggi, seperti batu alam, untuk menyerap panas di siang hari dan melepaskannya di malam hari. Meminimalkan luas permukaan luar bangunan untuk mengurangi kehilangan panas. Iklim Dingin Iklim dingin memiliki ciri bulan terdingin bersuhu di bawah -3 C, bulan terpanas bersuhu di atas 10 C. Tipe bangunan cenderung menahan panas, misalnya dengan memposisikan bangunan agar mendapatkan sinar matahari maksimal di musim dingin. Menggunakan material dengan kapasitas panas tinggi, seperti batu bata atau beton, untuk menyimpan panas. Melakukan isolasi yang baik pada dinding, atap, dan lantai untuk mencegah kehilangan panas. Iklim Sedang Iklim sedang memiliki ciri terdapat musim panas dan dingin, suhu rata-rata 10 C, suhu tertinggi di bawah 18 C dan di atas -3 c. Desain cenderung mampu beradaptasi ketika terjadi perubahan musim, seperti memposisikan bangunan agar mendapatkan sinar matahari maksimal di musim dingin dan terlindung dari sinar matahari langsung di musim panas. Memanfaatkan angin alami untuk mendinginkan ruangan di musim panas dan menghangatkan ruangan di musim dingin. Menggunakan kombinasi material dengan kapasitas panas tinggi dan rendah untuk mengatur suhu di dalam ruangan. Iklim Tropis Iklim tropis memiliki ciri curah hujan tahunan lebih besar dari penguapan tahunan, suhu bulanan rata-rata di atas 18 C, dan tidak ada musim dingin. Terdapat empat elemen penting dalam Arsitektur Tropis, diantaranya adalah: ⦁ Atap Atap merupakan bagian dalam sebuah bangunan yang berfungsi sebagai penutup seluruh ruangan, selain itu juga atap berfungsi sebagai penambah estetik serta sebagai pelindung dari panas dan hujan (Furqon, 2016). ⦁ Ventilasi Ventilasi Alami adalah pergantian udara secara alami (tidak melibatkan peralatan mekanis, seperti mesin penyejuk udara yang dikenal sebagai air conditioner atau AC). Ventilasi alami menawarkan ventilasi yang sehat, nyaman, tanpa memerlukan energi tambahan. Ventilasi Buatan adalah penghawaan yang melibatkan peralatan mekanik penghawaan buatan sering juga disebut dengan pengondisian udara. ⦁ Material Lokal Material yang digunakan pada bangunan arsitektur tropis ini merupakan material yang dapat menyesuaikan dengan iklim sekitar serta dapat “berbaur” dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat memberikan kesan menyatu dengan alam. ⦁ Teritisan Bangunan yang menggunakan konsep Arsitektur Tropis umumnya memiliki teritisan yang cukup lebar untuk meminimalisir tampias dari curah hujan dan kecepatan angin iklim tropis yang tinggi. Fungsi lain dari teritisan adalah sebagai peminimalisir sinar matahari langsung untuk masuk ke ruang-ruang agar tetap sejuk tanpa mengurangi kualitas pencahayaan.

Cuaca & Iklim, Pertanian

Agroklimat dan Penerapannya di Indonesia

  Agroklimat adalah cabang ilmu yang mengkaji hubungan antara iklim dan aktivitas pertanian. Pemahaman mengenai agroklimat sangat penting karena iklim merupakan faktor utama yang memengaruhi produktivitas pertanian, baik melalui curah hujan, suhu, kelembapan, maupun radiasi matahari (Dedi & Haryono, 2021). Di Indonesia, sebagai negara tropis dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, agroklimat memiliki peranan strategis dalam mendukung ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan (Kementerian Pertanian, 2023).   Salah satu cara untuk memahami hubungan antara iklim dan tanaman adalah melalui siklus agroklimat yang ditunjukkan dalam ilustrasi berikut. Gambar ini menggambarkan bagaimana curah hujan (precipitation) menjadi sumber utama air yang masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Air tersebut kemudian diserap oleh akar tanaman untuk mendukung pertumbuhan. Selanjutnya, proses evapotranspirasi, yaitu kombinasi penguapan air dari permukaan tanah dan transpirasi melalui daun tanaman, berperan dalam siklus air yang sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari. Radiasi matahari, baik berupa gelombang pendek maupun panjang, memengaruhi fotosintesis dan suhu lingkungan yang sangat penting bagi tanaman. Awan dan pantulan radiasi (reflected longwave dan shortwave) juga turut memengaruhi intensitas energi yang diterima oleh tanaman. Ilustrasi ini memperlihatkan betapa kompleksnya interaksi antara atmosfer, tanah, dan tanaman dalam sistem agroklimat. Agroklimat di Indonesia Indonesia memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh fenomena seperti El Niño dan La Niña, serta pola angin monsun. Dengan curah hujan tahunan yang rata-rata mencapai 2.000-3.000 mm, Indonesia memiliki potensi besar untuk pertanian, terutama pada tanaman padi, kelapa sawit, kopi, kakao, dan karet (FAO, 2022). Namun, variabilitas iklim seperti musim kemarau panjang dan hujan ekstrem dapat menimbulkan risiko bagi produktivitas pertanian (WMO, 2023). Keanekaragaman agroklimat di Indonesia memungkinkan pengembangan berbagai komoditas sesuai dengan karakteristik iklim regional. Sebagai contoh, wilayah dataran tinggi di Jawa Barat cocok untuk tanaman hortikultura seperti sayuran dan buah-buahan, sedangkan wilayah dataran rendah di Sumatra dan Kalimantan ideal untuk tanaman perkebunan seperti kelapa sawit dan karet (Setiawan, 2022). Agroklimat juga berpengaruh pada siklus tanam dan panen. Sistem tanam padi sawah di Indonesia, misalnya, sangat bergantung pada pola curah hujan tahunan. Musim tanam utama (musim penghujan) dan musim tanam kedua (musim kemarau) direncanakan berdasarkan prediksi curah hujan. Oleh karena itu, kesalahan dalam memprediksi iklim dapat berdampak besar pada hasil pertanian (BMKG, 2023). Teknologi dalam Agroklimat di Indonesia Dalam upaya memanfaatkan potensi agroklimat dan menghadapi tantangan variabilitas iklim, berbagai teknologi telah diterapkan di Indonesia. Beberapa teknologi tersebut meliputi: Irigasi Cerdas Teknologi irigasi presisi yang menggunakan sensor untuk memantau kelembapan tanah dan kebutuhan air tanaman. Sistem ini membantu efisiensi penggunaan air, terutama di daerah yang rentan terhadap kekeringan (Nugroho, 2021). Pemodelan dan Simulasi Tanaman Pemodelan berbasis data digunakan untuk memprediksi hasil panen berdasarkan kondisi agroklimat. Contohnya adalah Crop Simulation Model (CSM) yang membantu petani merencanakan jadwal tanam (FAO, 2022). Gambar 1. Contoh Crop Simulation Model pada tanaman padi        ⦁ Penggunaan Benih Tahan Iklim Pengembangan varietas tanaman yang tahan terhadap kondisi ekstrem, seperti padi tahan kekeringan atau banjir, merupakan langkah inovatif dalam mengurangi risiko gagal panen (Setiawan, 2022). ⦁ Teknologi Penginderaan Jauh Pemanfaatan citra satelit untuk memantau kondisi lahan dan tanaman. Data ini dapat digunakan untuk analisis tingkat kesehatan tanaman dan perencanaan lahan pertanian (Hendrawan dkk., 2020). ⦁ Manajemen Risiko Iklim Strategi manajemen risiko seperti asuransi pertanian berbasis indeks cuaca menjadi salah satu cara melindungi petani dari kerugian akibat perubahan iklim yang tidak terduga (FAO, 2022). ⦁ Pengolahan Data Besar (Big Data) Penggunaan big data dalam agroklimat memungkinkan analisis pola iklim jangka panjang dan pengambilan keputusan berbasis data yang lebih akurat. Teknologi ini digunakan untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap produksi pertanian di berbagai wilayah (WMO, 2023). ⦁ Penerapan Internet of Things (IoT) IoT memungkinkan integrasi data dari berbagai sensor untuk memonitor suhu, kelembapan, dan kondisi tanah secara real-time. Hal ini membantu petani dalam pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat (Nugroho, 2021). Agroklimat memegang peranan penting dalam mendukung ketahanan pangan di Indonesia. Dengan mengintegrasikan teknologi canggih, risiko yang timbul akibat variabilitas iklim dapat diminimalisasi, sehingga produktivitas pertanian dapat ditingkatkan secara berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah, peneliti, dan petani sangat diperlukan untuk mengoptimalkan manfaat dari agroklimat dalam pembangunan pertanian.   DAFTAR PUSTAKA BMKG (2023). Agroclimate Information System. Jakarta: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Dedi, S., & Haryono, T. (2021). “Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Pertanian di Indonesia.” Jurnal Agroklimat Indonesia, 12(1), 45-56. FAO (2022). “Climate-Smart Agriculture in Indonesia.” Rome: Food and Agriculture Organization. Hendrawan, B., et al. (2020). “Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh untuk Pertanian Berkelanjutan.” Prosiding Seminar Nasional Pertanian, 5(3), 89-102. Kementerian Pertanian (2023). Laporan Tahunan: Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta: Kementerian Pertanian RI. Laurentia, S.C., Arlensietami, L., 2022. Aplikasi Cropwat 8.0 Untuk Merencanakan Pola Tanam Optimal Dan Memaksimalkan Hasil Pertanian Di Kecamatan Gunungpati. J. Sumber Daya Air 18, 121–132. Nugroho, S. (2021). “Inovasi Irigasi untuk Pertanian Tangguh Iklim.” Jurnal Teknik Pertanian, 18(4), 221-232. Setiawan, A. (2022). “Varietas Tahan Iklim: Solusi Tantangan Perubahan Iklim.” Jakarta: Balai Penelitian Tanaman Pangan. WMO (2023). “The State of Climate Services 2023: Agriculture.” Geneva: World Meteorological Organization.

Cuaca & Iklim, Pertanian

Dampak Kekeringan terhadap Sektor Pertanian: Proyeksi Iklim, Kekurangan Indeks Kekeringan, dan Solusi AI untuk Mitigasi di Masa Depan

Indonesia sebagai negara yang mengandalkan sektor pertanian menghadapi bencana yang merugikan seperti fenomena kekeringan. Fenomena kekeringan terjadi defisit curah hujan dibandingkan rata rata tahunan di area tertentu . Fenomena kekeringan meningkat intensitasnya disebabkan perubahan iklim. Hal ini dapat dibuktikan di laporan Assesment Report 5 menjelaskan kejadian fenomena kekeringan dari periode 1844 hingga 1960 hanya terjadi 3-4 tiap tahun, kemudian periode 1961 hingga 2006 menjadi 2-3 tiap tahun . Oleh karena itu, fenomena kekeringan yang meningkat intensitasnya berpengaruh pada produksi tanaman. Penelitian tentang dampak kekeringan yang berkepanjangan terhadap produksi tanaman menunjukkan berpengaruh signifikan bahwa produksi padi, jagung, dan kedelai menurun disebabkan frekuensi El Nino yang meningkat dan peningkatan jumlah hari tanpa hujan . Tanaman padi mengalami kekeringan saat El Nino kuat pada 1997 dan 2015 seluas 513 ribu Ha dan 597 ribu Ha. Luas padi yang mengalami kekeringan saat El Nino lemah hingga sedang adalah 870 ribu Ha pada 1991, 539 ribu Ha pada 1994, dan 538 ribu Ha pada 2003 . Dampak ini tidak hanya menyebabkan penurunan produktivitas tanaman tetapi juga memengaruhi stabilitas ketahanan pangan nasional. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan disebabkan skenario iklim diproyeksikan kejadian kekeringan meningkat secara frekuensi dan intensitas di masa depan sehingga sektor pertanian dan pangan berisiko gagal panen. Kekeringan yang diproyeksi meningkat terjadi sehingga perlu ada pola tanam dengan pola iklim masa datang. Peneliti melakukan riset dengan berbagai skenario bagaimana iklim di masa depan. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendirikan lembaga untuk membahas iklim, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Tujuan IPCC adalah memproyeksikan perubahan iklim secara global dan regional hingga tahun 2100. Proyeksi iklim yang dilakukan semakin jauh menyebabkan ketidakpastian semakin besar. Skenario iklim dikenal adalah Representative Concentration Pathways (RCP) . Skenario RCP terdiri dari 4 skenario yaitu RCP2.6 (mitigasi agresif, kenaikan radiative forcing 2.6 W/m2), RCP4.5 (mitigasi menengah-ringan, radiative forcing 4.5 W/m2), RCP6.0 (mitigasi menengah-tinggi, radiative forcing 6.0 W/m2), dan RCP8.5 (business as usual, radiative forcing 8.5 W/m2). Skenario yang disepakati negara negara yaitu skenario RCP2.6 agar kenaikan suhu Bumi tidak melebihi 2. Skenario model iklim diperbaharui dengan model yang baru yaitu CMIP6 (Coupled Model Intercomparison Project). Model terbaru lebih memiliki beragam model yang dianalisis, kemampuan resolusi temporal dan spasial yang tinggi, dan evaluasi dan validasi model dengan data observasi lebih ketat. Penelitian mengenai proyeksi kekeringan global menggunakan model iklim CMIP6 menjelaskan tren kekeringan di seluruh dunia mengalami peningkatan signifikan . Indeks kekeringan yang digunakan ialah SPEI (Standarized Precipitation Evaporation Index) yang mana mempertimbangkan curah hujan dan potensi evapotranspirasi . Namun ada kekurangan dari SPEI seperti faktor kekeringan tidak hanya curah hujan dan evapotranspirasi, tetapi juga ada faktor penting lain seperti kelembaban tanah, kondisi hidrologis, atau perubahan penggunaan lahan. Solusi yang diberikan dari para peneliti dengan membuat indeks kekeringan baru. Bantuan dari Artificial Intelligence (AI) agar menganalisis data cuaca dan iklim sehingga membuat indeks kekeringan baru. Salah satu penelitian yang membahas indeks kekeringan baru yaitu Drought Prediction using Artificial Intelligence Models Based on Climate Data and Soil Moisture . Model decision tree (DT), generalized linear model (GLM), support vector machine (SVM), artificial neural network (ANN), deep learning, dan random forest digunakan mengembangkan indeks kekeringan meteorologis baru. Hasil menunjukkan secara keseluruhan indeks berbasis AI lebih menungungguli daripada indeks kekeringan yang sebelumnya. Hasil yang ditemukan ini dapat berkontribusi pada prakiraan dan pemantauan kekeringan lebih akurat sehingga andal dalam mitigasi kekeringan yang lebih baik.

Cuaca & Iklim, Pariwisata

Perubahan Iklim dan Tantangan Kenyamanan Iklim dalam Sektor Pariwisata Indonesia

Perubahan iklim yang terus melanda di dunia juga terjadi di Indonesia dalam 30 tahun kebelakang. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan nilai suhu udara dan curah hujan (Utami, 2019). Peningkatan suhu udara ini disebabkan oleh efek gas rumah kaca yang berawal dari masa revolusi industri (Pratama, 2019). Secara global, fenomena perubahan iklim telah mengarah pada peningkatan frekuensi kejadian ekstrem berupa banjir, kekeringan, dan gelombang panas. Selain itu, terdapat implikasi antara perubahan iklim terhadap thermal stress dan tingkat kenyamanan manusia (Wilson & Crandall, 2011). Kenyamanan ini tentunya akan bervariasi karena sifatnya yang subjektif dimana suhu udata menjadi salah satu faktor utama dalam mengukur kenyamanan termal. Di sisi lain, perubahan iklim dan kenyamanan termal erat kaitannya dengan pariwisata. Hal ini didasarkan pada dampak iklim terhadap motivasi dan pemilihan destinasi para wisatawan (Steiger et al., 2022). Selain itu, daya tarik suatu tempat wisata juga dipengaruhi oleh perubahan iklim. Oleh sebab itu, terdapat peran signifikan oleh iklim terhadap keputusan pengunjung, waktu, dan tempat ketika berwisata di suatu tempat. Berkaitan dengan sektor pariwisata, sektor ini sudah menjadi sektor terbesar di dunia dari segi ekonomi. Di Indonesia sendiri, sektor pariwisata menjadi sektor dengan urutan ke-4 terbesar dalam sumber devisa negara karena banyaknya keragaman budaya serta keindahan alam (Aliansyah & Hermawan, 2019). Pada tahun 2017. Sektor ini dapat melakukan transaksi sebanyak Rp 634 triliun dengan peningkatan sebesar 8.4% dibandingkan tahun sebelumnya (Badan Pusat Statistik, 2017). Oleh karena itu, sektor pariwisata akan memicu pertumbuhan ekonomi akibat bertambahnya lowongan pekerjaan serta munculnya UMKM disekitar tempat wisata sehingga pendapatan masyarakat sekitar akan meningkat. Di Indonesia sendiri, destinasi wisata tersebar dari sabang sampai Merauke dengan keunikan tiap daerah berbeda-beda. Hal ini yang menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk menunjungi Indonesia. Salah satu daerah yang sering dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara, yaitu Pulau Bali. Wilayah ini memiliki berbagai jenis wisata dari wisata alam, budaya, dan masih banyak lainnya. Selain itu, terdapat suatu daerah yang sering dikunjungi wisatawan mancanegara karena budaya, yaitu Yogyakarta. Di tempat ini terdapat berbagai macam tempat wisata seperti wisata kuliner, sejarah, dan kesenian. Setelah menarik benang merahnya, maka perlu adanya informasi mengenai tingkat kenyamanan iklim pada sektor pariwisata. Hal ini didapatkan melalui perhitungan empirik melalui berbagai indeks kenyamanan termal yang berbeda-beda seperti Holiday Climate Index (HCI), Humidity Index (Humidex), Temperature Humidity Index (THI), Tourism Climate Index (TCI), Heat index (HI), Discomfort Index (DI), dan lain-lain. Berbagai penelitian telah dilakukan dalam penentuan tingkat kenyamanan iklim suatu daerah termasuk di Indonesia. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan di Banjarmasin menggunakan metode HCI dimana kondisi tingkat kenyamanan termal berada pada kriteria bagus dengan rentang nilai indeks sebesar 54-70 (Noor et al., 2019). Selain itu, penelitian yang dilakukan pada salah satu dari 5 destinasi wisata super prioritas Indonesia, yaitu Borobudur telah dilakukan menggunakan metode TCI dimana kriteria nyaman terjadi pada bulan Juni sampai Agustus berdasarkan data klimatologi 2010-2019 (Hasanah et al., 2020). Akan tetapi, terdapat penelitian yang menyatakan daerah Aceh memiliki tingkat kenyamanan yang tidak nyaman berdasarkan metode Humidex dimana rentang nilai indeksnya berkisar antara 23.2°C -25.8°C (Siregar et al., 2020).   Oleh karena itu, untuk mengatasi tantangan tingkat kenyamanan iklim yang dipengaruhi oleh perubahan iklim diperlukan upaya strategis yang melibatkan berbagai pihak. Pertama, pengembangan sistem prediksi cuaca dan perubahan iklim secara lebih akurat perlu dilakukan untuk memberikan informasi yang relevan kepada wisatawan dan pengelola destinasi wisata. Kedua, penerapan adaptasi iklim melalui desain destinasi wisata yang ramah iklim, seperti penyediaan area teduh, fasilitas penyejuk udara, atau pengelolaan lanskap hijau dapat meningkatkan kenyamanan wisatawan. Ketiga, edukasi kepada masyarakat lokal dan wisatawan terkait perubahan iklim serta dampaknya terhadap kenyamanan termal sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong perilaku yang lebih adaptif dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Keempat, inovasi dalam pengembangan indeks kenyamanan termal berbasis data terkini yang disesuaikan dengan kondisi lokal setiap destinasi wisata dapat menjadi alat yang efektif dalam mendukung perencanaan sektor pariwisata yang berkelanjutan. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan sektor pariwisata dapat terus berkembang tanpa mengorbankan kenyamanan dan keberlanjutan lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Aliansyah, H., & Hermawan, W. (2019). Peran Sektor Pariwisata Pada Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Di Jawa Barat. Bina Ekonomi: Majalah Ilmiah Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan, 23(1), 39–55. https://doi.org/https://doi.org/10.26593/be.v23i1.4654.39-55 Badan Pusat Statistik. (2017). Neraca Satelit Pariwisata Nasional (NESPARNAS). Badan Pusat Statistik. Hasanah, N. A. I., Maryetnowati, D., Edelweis, F. N., Indriyani, F., & Nugrahayu, Q. (2020). The Climate Comfort Assessment For Tourism Purposes In Borobudur Temple Indonesia. Heliyon, 6(12), e05828. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2020.e05828 Noor, A. B. S., Rakhmat, D. I., Khasanah, S. N., & Kurniawan, W. (2019). Pemanfaatan Informasi Holiday Climate Index (HCI) Dalam Sektor Pariwisata (Studi Kasus: Kota Banjarmasin). Tantangan Dan Peran Perguruan Tinggi Dalam Menghadapi Disrupsi Teknologi, 21–29. Pratama, R. (2019). Efek Rumah Kaca Terhadap Bumi. Buletin Utama Teknik, 14(2), 120–126. Siregar, D. C., Lubis, N. A.-Z., & Muhajir. (2020). Analisis Kenyamanan Termis Kota Banda Aceh Berdasarkan Temperature Humidity Index,Discomfort Index dan Humidex. Widyakala Journal, 7(1), 53–58. https://doi.org/https://doi.org/10.36262/widyakala.v7i1.296 Steiger, R., Knowles, N., Pöll, K., & Rutty, M. (2022). Impacts Of Climate Change On Mountain Tourism: A Review. Journal of Sustainable Tourism, 1–34. https://doi.org/10.1080/09669582.2022.2112204 Utami, D. N. (2019). Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap Degradasi Tanah. Jurnal Alami: Jurnal Teknologi Reduksi Risiko Bencana, 3(2), 122–131. https://doi.org/https://doi.org/10.29122/alami.v3i2.3744 Wilson, T. E., & Crandall, C. G. (2011). Effect Of Thermal Stress On Cardiac Function. Exercise and Sport Sciences Reviews, 39(1), 12–17. https://doi.org/10.1097/JES.0b013e318201eed6  

Cuaca & Iklim, Pertanian

Andil BMKG Dalam Intensifikasi Pemahaman Informasi Cuaca & Iklim Pada Sektor Pertanian

Dalam upaya memenuhi ketahanan dan keamanan pangan, diperlukan pengembangan sistem pertanian di Indonesia. Pemahaman terhadap kondisi cuaca dan iklim memegang peranan penting dalam sektor pertanian. Iklim merupakan salah satu faktor yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan dan hasil panen tanaman (Setiawan, 2009). Unsur-unsur iklim yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman meliputi radiasi matahari, curah hujan, suhu dan kelembapan udara, serta arah dan kecepatan angin (Suryanto, 2019). Untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor iklim dan cuaca tersebut, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai lembaga pemerintah yang bertugas di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika, memberikan akses informasi kepada masyarakat, termasuk petani, melalui berbagai aplikasi, salah satunya adalah Info BMKG. Informasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, terutama kebutuhan informasi cuaca dan iklim. Selain itu, BMKG juga aktif mengoptimalkan sosialisasi kepada para penyuluh pertanian (PPL) dan petani melalui pelatihan dan kegiatan lainnya. Dalam melaksanakan sosialisasi ini, BMKG menjalin kerja sama dengan instansi terkait, seperti Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, serta pihak-pihak lainnya. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak petani yang mengalami kesulitan dalam mengakses dan memahami aplikasi tersebut karena informasi yang disajikan bersifat umum untuk berbagai sektor. Sulitnya memahami informasi cuaca dan iklim ini berpotensi menimbulkan kesalahpahaman dalam penyampaian informasi (Fadlan et al., 2022). Dalam praktiknya, petani cenderung lebih mengandalkan kearifan lokal dalam menentukan waktu tanam dan varietas tanaman. Akan tetapi, perubahan iklim yang terus terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, menyebabkan cuaca dan iklim menjadi semakin sulit diprediksi. Kondisi ini membuat kearifan lokal tidak lagi cukup untuk memberikan petunjuk yang akurat mengenai waktu tanam dan varietas tanaman yang sesuai. Oleh karena itu, diperlukan langkah terobosan untuk mengatasi permasalahan ini. Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai peran cuaca dan iklim terhadap pertumbuhan tanaman perlu dilakukan melalui intensifikasi literasi serta layanan informasi cuaca dan iklim yang difokuskan pada sektor pertanian. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan menyelenggarakan Sekolah Lapang Iklim (SLI) (Juanda, 2015; Kaimuddin et al., 2018). Sekolah Lapang Iklim (SLI) bertujuan untuk meningkatkan pemahaman informasi iklim bagi penyuluh pertanian dan kelompok tani dalam memanfaatkannya untuk kegiatan bercocok tanam. Program ini diselenggarakan secara berkelanjutan agar dapat meningkatkan produktivitas hasil pertanian sekaligus membantu mengantisipasi variabilitas iklim dan dampak iklim ekstrem di wilayah masing-masing. Penerapan SLI pada komoditas jagung, misalnya, telah menunjukkan hasil rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mengikuti program SLI (Ramadhani et al., 2018). Sementara itu, pada komoditas padi, kegiatan serupa seperti Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) di Kabupaten Tana Tidung berhasil meningkatkan produktivitas padi dari 893 kg/ha menjadi 1.270 kg/ha (Mulyani and Jumiati, 2014). Menurut (Novela et al., 2012), SLI juga mampu meningkatkan pemahaman petani terhadap informasi iklim, baik secara kognitif maupun afektif.     SLI merupakan pendekatan pemberdayaan petani dan petugas penyuluh lapang (PPL/POPT) agar mampu memahami dan memanfaatkan informasi iklim secara efektif untuk mendukung kegiatan pertanian. Melalui kegiatan SLI, diharapkan program peningkatan pemahaman informasi iklim yang diterbitkan BMKG dapat terlaksana dengan baik sehingga PPL/POPT dan petani dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk mendukung pertanian mereka. Selain itu, langkah antisipasi terhadap cuaca atau iklim ekstrem juga dapat dirancang. Pembaruan kegiatan SLI dalam bentuk tematik diharapkan mampu memaksimalkan pendampingan kepada petani dalam memahami informasi yang disediakan oleh BMKG. Efektivitas SLI dalam meningkatkan pemahaman informasi iklim bagi PPL/POPT, petani, dan pihak-pihak terkait, baik dari pemerintah maupun swasta, menjadi tantangan sekaligus harapan. Jika SLI tidak berjalan efektif, maka program ini tidak akan memberikan nilai tambah bagi para pengguna, yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap informasi dari BMKG. Sebaliknya, jika SLI mampu berjalan sesuai harapan, BMKG secara tidak langsung telah menciptakan jaringan informasi iklim informal yang efektif dan andal untuk mendukung keberhasilan sektor pertanian. Author: Dwiki Anugerah Atmojo DAFTAR RUJUKAN Fadlan, A., Safril, A., Veanti, D.P.O., Nugraheni, I.R., Septiadi, D., Harahap, D., Nuraini, N., 2022. Pengetahuan Tentang Iklim dan Cuaca Untuk Kemajuan Pertanian di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Juanda, B.R., 2015. Antisipasi Perubahan Iklim Melalui Pengelolaan Lingkungan Pertanaman Untuk Produksi dan Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Jurnal Penelitian Agrosamudra 2, 61–70. Kaimuddin, Rafiuddin, Musa, Y., 2018. Pembinaan Usahatani Sistem Pertanian Terpadu (Tanaman-Ternak) Berbasis Padi Melalui Sekolah Lapang Iklim (SLI). Jurnal Dinamika Pengabdian 4, 64–71. https://doi.org/10.20956/jdp.v4i1.5282 Mulyani, S.I., Jumiati, dan E., 2014. Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pendekatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung. AGRIFOR 13, 75–84. https://doi.org/10.31293/af.v13i1.551 Novela, D., Suandi, Farida, A., 2012. Perilaku Petani Terhadap Program Sekolah Lapang Iklim (SLI) dalam Usahatani Padi Sawah (Kasus di Desa Tebing Tinggi Kecamatan Siulak Kabupaten Kerinci dan Desa Koto Panap Kecamatan Tanah Kampung Kota sungai Penuh). Jurnal Ilmiah Sosio-Ekonomika Bisnis 15. https://doi.org/10.22437/jiseb.v15i2.2759 Ramadhani, R., Komariah, K., Sumani, S., Ariyanto, D.P., 2018. Implementasi Sekolah Lapang Iklim dan Dosis Pupuk Terhadap Karakter Kimia Tanah dan Hasil Jagung. Agrosains : Jurnal Penelitian Agronomi 20, 50–55. https://doi.org/10.20961/agsjpa.v20i2.20948 Setiawan, E., 2009. Kajian hubungan unsur iklim terhadap produktivitas cabe jamu (Piper retrofractum Vahl) di Kabupaten Sumenep. Agrovigor: Jurnal Agroekoteknologi 2, 1–7. Suryanto, A., 2019. Pola tanam. Universitas Brawijaya Press.  

Scroll to Top