Pertanian

Cuaca & Iklim, Pertanian

Agroklimat dan Penerapannya di Indonesia

  Agroklimat adalah cabang ilmu yang mengkaji hubungan antara iklim dan aktivitas pertanian. Pemahaman mengenai agroklimat sangat penting karena iklim merupakan faktor utama yang memengaruhi produktivitas pertanian, baik melalui curah hujan, suhu, kelembapan, maupun radiasi matahari (Dedi & Haryono, 2021). Di Indonesia, sebagai negara tropis dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, agroklimat memiliki peranan strategis dalam mendukung ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan (Kementerian Pertanian, 2023).   Salah satu cara untuk memahami hubungan antara iklim dan tanaman adalah melalui siklus agroklimat yang ditunjukkan dalam ilustrasi berikut. Gambar ini menggambarkan bagaimana curah hujan (precipitation) menjadi sumber utama air yang masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Air tersebut kemudian diserap oleh akar tanaman untuk mendukung pertumbuhan. Selanjutnya, proses evapotranspirasi, yaitu kombinasi penguapan air dari permukaan tanah dan transpirasi melalui daun tanaman, berperan dalam siklus air yang sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari. Radiasi matahari, baik berupa gelombang pendek maupun panjang, memengaruhi fotosintesis dan suhu lingkungan yang sangat penting bagi tanaman. Awan dan pantulan radiasi (reflected longwave dan shortwave) juga turut memengaruhi intensitas energi yang diterima oleh tanaman. Ilustrasi ini memperlihatkan betapa kompleksnya interaksi antara atmosfer, tanah, dan tanaman dalam sistem agroklimat. Agroklimat di Indonesia Indonesia memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh fenomena seperti El Niño dan La Niña, serta pola angin monsun. Dengan curah hujan tahunan yang rata-rata mencapai 2.000-3.000 mm, Indonesia memiliki potensi besar untuk pertanian, terutama pada tanaman padi, kelapa sawit, kopi, kakao, dan karet (FAO, 2022). Namun, variabilitas iklim seperti musim kemarau panjang dan hujan ekstrem dapat menimbulkan risiko bagi produktivitas pertanian (WMO, 2023). Keanekaragaman agroklimat di Indonesia memungkinkan pengembangan berbagai komoditas sesuai dengan karakteristik iklim regional. Sebagai contoh, wilayah dataran tinggi di Jawa Barat cocok untuk tanaman hortikultura seperti sayuran dan buah-buahan, sedangkan wilayah dataran rendah di Sumatra dan Kalimantan ideal untuk tanaman perkebunan seperti kelapa sawit dan karet (Setiawan, 2022). Agroklimat juga berpengaruh pada siklus tanam dan panen. Sistem tanam padi sawah di Indonesia, misalnya, sangat bergantung pada pola curah hujan tahunan. Musim tanam utama (musim penghujan) dan musim tanam kedua (musim kemarau) direncanakan berdasarkan prediksi curah hujan. Oleh karena itu, kesalahan dalam memprediksi iklim dapat berdampak besar pada hasil pertanian (BMKG, 2023). Teknologi dalam Agroklimat di Indonesia Dalam upaya memanfaatkan potensi agroklimat dan menghadapi tantangan variabilitas iklim, berbagai teknologi telah diterapkan di Indonesia. Beberapa teknologi tersebut meliputi: Irigasi Cerdas Teknologi irigasi presisi yang menggunakan sensor untuk memantau kelembapan tanah dan kebutuhan air tanaman. Sistem ini membantu efisiensi penggunaan air, terutama di daerah yang rentan terhadap kekeringan (Nugroho, 2021). Pemodelan dan Simulasi Tanaman Pemodelan berbasis data digunakan untuk memprediksi hasil panen berdasarkan kondisi agroklimat. Contohnya adalah Crop Simulation Model (CSM) yang membantu petani merencanakan jadwal tanam (FAO, 2022). Gambar 1. Contoh Crop Simulation Model pada tanaman padi        ⦁ Penggunaan Benih Tahan Iklim Pengembangan varietas tanaman yang tahan terhadap kondisi ekstrem, seperti padi tahan kekeringan atau banjir, merupakan langkah inovatif dalam mengurangi risiko gagal panen (Setiawan, 2022). ⦁ Teknologi Penginderaan Jauh Pemanfaatan citra satelit untuk memantau kondisi lahan dan tanaman. Data ini dapat digunakan untuk analisis tingkat kesehatan tanaman dan perencanaan lahan pertanian (Hendrawan dkk., 2020). ⦁ Manajemen Risiko Iklim Strategi manajemen risiko seperti asuransi pertanian berbasis indeks cuaca menjadi salah satu cara melindungi petani dari kerugian akibat perubahan iklim yang tidak terduga (FAO, 2022). ⦁ Pengolahan Data Besar (Big Data) Penggunaan big data dalam agroklimat memungkinkan analisis pola iklim jangka panjang dan pengambilan keputusan berbasis data yang lebih akurat. Teknologi ini digunakan untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap produksi pertanian di berbagai wilayah (WMO, 2023). ⦁ Penerapan Internet of Things (IoT) IoT memungkinkan integrasi data dari berbagai sensor untuk memonitor suhu, kelembapan, dan kondisi tanah secara real-time. Hal ini membantu petani dalam pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat (Nugroho, 2021). Agroklimat memegang peranan penting dalam mendukung ketahanan pangan di Indonesia. Dengan mengintegrasikan teknologi canggih, risiko yang timbul akibat variabilitas iklim dapat diminimalisasi, sehingga produktivitas pertanian dapat ditingkatkan secara berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah, peneliti, dan petani sangat diperlukan untuk mengoptimalkan manfaat dari agroklimat dalam pembangunan pertanian.   DAFTAR PUSTAKA BMKG (2023). Agroclimate Information System. Jakarta: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Dedi, S., & Haryono, T. (2021). “Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Pertanian di Indonesia.” Jurnal Agroklimat Indonesia, 12(1), 45-56. FAO (2022). “Climate-Smart Agriculture in Indonesia.” Rome: Food and Agriculture Organization. Hendrawan, B., et al. (2020). “Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh untuk Pertanian Berkelanjutan.” Prosiding Seminar Nasional Pertanian, 5(3), 89-102. Kementerian Pertanian (2023). Laporan Tahunan: Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta: Kementerian Pertanian RI. Laurentia, S.C., Arlensietami, L., 2022. Aplikasi Cropwat 8.0 Untuk Merencanakan Pola Tanam Optimal Dan Memaksimalkan Hasil Pertanian Di Kecamatan Gunungpati. J. Sumber Daya Air 18, 121–132. Nugroho, S. (2021). “Inovasi Irigasi untuk Pertanian Tangguh Iklim.” Jurnal Teknik Pertanian, 18(4), 221-232. Setiawan, A. (2022). “Varietas Tahan Iklim: Solusi Tantangan Perubahan Iklim.” Jakarta: Balai Penelitian Tanaman Pangan. WMO (2023). “The State of Climate Services 2023: Agriculture.” Geneva: World Meteorological Organization.

Cuaca & Iklim, Pertanian

Dampak Kekeringan terhadap Sektor Pertanian: Proyeksi Iklim, Kekurangan Indeks Kekeringan, dan Solusi AI untuk Mitigasi di Masa Depan

Indonesia sebagai negara yang mengandalkan sektor pertanian menghadapi bencana yang merugikan seperti fenomena kekeringan. Fenomena kekeringan terjadi defisit curah hujan dibandingkan rata rata tahunan di area tertentu . Fenomena kekeringan meningkat intensitasnya disebabkan perubahan iklim. Hal ini dapat dibuktikan di laporan Assesment Report 5 menjelaskan kejadian fenomena kekeringan dari periode 1844 hingga 1960 hanya terjadi 3-4 tiap tahun, kemudian periode 1961 hingga 2006 menjadi 2-3 tiap tahun . Oleh karena itu, fenomena kekeringan yang meningkat intensitasnya berpengaruh pada produksi tanaman. Penelitian tentang dampak kekeringan yang berkepanjangan terhadap produksi tanaman menunjukkan berpengaruh signifikan bahwa produksi padi, jagung, dan kedelai menurun disebabkan frekuensi El Nino yang meningkat dan peningkatan jumlah hari tanpa hujan . Tanaman padi mengalami kekeringan saat El Nino kuat pada 1997 dan 2015 seluas 513 ribu Ha dan 597 ribu Ha. Luas padi yang mengalami kekeringan saat El Nino lemah hingga sedang adalah 870 ribu Ha pada 1991, 539 ribu Ha pada 1994, dan 538 ribu Ha pada 2003 . Dampak ini tidak hanya menyebabkan penurunan produktivitas tanaman tetapi juga memengaruhi stabilitas ketahanan pangan nasional. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan disebabkan skenario iklim diproyeksikan kejadian kekeringan meningkat secara frekuensi dan intensitas di masa depan sehingga sektor pertanian dan pangan berisiko gagal panen. Kekeringan yang diproyeksi meningkat terjadi sehingga perlu ada pola tanam dengan pola iklim masa datang. Peneliti melakukan riset dengan berbagai skenario bagaimana iklim di masa depan. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendirikan lembaga untuk membahas iklim, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Tujuan IPCC adalah memproyeksikan perubahan iklim secara global dan regional hingga tahun 2100. Proyeksi iklim yang dilakukan semakin jauh menyebabkan ketidakpastian semakin besar. Skenario iklim dikenal adalah Representative Concentration Pathways (RCP) . Skenario RCP terdiri dari 4 skenario yaitu RCP2.6 (mitigasi agresif, kenaikan radiative forcing 2.6 W/m2), RCP4.5 (mitigasi menengah-ringan, radiative forcing 4.5 W/m2), RCP6.0 (mitigasi menengah-tinggi, radiative forcing 6.0 W/m2), dan RCP8.5 (business as usual, radiative forcing 8.5 W/m2). Skenario yang disepakati negara negara yaitu skenario RCP2.6 agar kenaikan suhu Bumi tidak melebihi 2. Skenario model iklim diperbaharui dengan model yang baru yaitu CMIP6 (Coupled Model Intercomparison Project). Model terbaru lebih memiliki beragam model yang dianalisis, kemampuan resolusi temporal dan spasial yang tinggi, dan evaluasi dan validasi model dengan data observasi lebih ketat. Penelitian mengenai proyeksi kekeringan global menggunakan model iklim CMIP6 menjelaskan tren kekeringan di seluruh dunia mengalami peningkatan signifikan . Indeks kekeringan yang digunakan ialah SPEI (Standarized Precipitation Evaporation Index) yang mana mempertimbangkan curah hujan dan potensi evapotranspirasi . Namun ada kekurangan dari SPEI seperti faktor kekeringan tidak hanya curah hujan dan evapotranspirasi, tetapi juga ada faktor penting lain seperti kelembaban tanah, kondisi hidrologis, atau perubahan penggunaan lahan. Solusi yang diberikan dari para peneliti dengan membuat indeks kekeringan baru. Bantuan dari Artificial Intelligence (AI) agar menganalisis data cuaca dan iklim sehingga membuat indeks kekeringan baru. Salah satu penelitian yang membahas indeks kekeringan baru yaitu Drought Prediction using Artificial Intelligence Models Based on Climate Data and Soil Moisture . Model decision tree (DT), generalized linear model (GLM), support vector machine (SVM), artificial neural network (ANN), deep learning, dan random forest digunakan mengembangkan indeks kekeringan meteorologis baru. Hasil menunjukkan secara keseluruhan indeks berbasis AI lebih menungungguli daripada indeks kekeringan yang sebelumnya. Hasil yang ditemukan ini dapat berkontribusi pada prakiraan dan pemantauan kekeringan lebih akurat sehingga andal dalam mitigasi kekeringan yang lebih baik.

Cuaca & Iklim, Pertanian

Andil BMKG Dalam Intensifikasi Pemahaman Informasi Cuaca & Iklim Pada Sektor Pertanian

Dalam upaya memenuhi ketahanan dan keamanan pangan, diperlukan pengembangan sistem pertanian di Indonesia. Pemahaman terhadap kondisi cuaca dan iklim memegang peranan penting dalam sektor pertanian. Iklim merupakan salah satu faktor yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan dan hasil panen tanaman (Setiawan, 2009). Unsur-unsur iklim yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman meliputi radiasi matahari, curah hujan, suhu dan kelembapan udara, serta arah dan kecepatan angin (Suryanto, 2019). Untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor iklim dan cuaca tersebut, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai lembaga pemerintah yang bertugas di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika, memberikan akses informasi kepada masyarakat, termasuk petani, melalui berbagai aplikasi, salah satunya adalah Info BMKG. Informasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, terutama kebutuhan informasi cuaca dan iklim. Selain itu, BMKG juga aktif mengoptimalkan sosialisasi kepada para penyuluh pertanian (PPL) dan petani melalui pelatihan dan kegiatan lainnya. Dalam melaksanakan sosialisasi ini, BMKG menjalin kerja sama dengan instansi terkait, seperti Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, serta pihak-pihak lainnya. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak petani yang mengalami kesulitan dalam mengakses dan memahami aplikasi tersebut karena informasi yang disajikan bersifat umum untuk berbagai sektor. Sulitnya memahami informasi cuaca dan iklim ini berpotensi menimbulkan kesalahpahaman dalam penyampaian informasi (Fadlan et al., 2022). Dalam praktiknya, petani cenderung lebih mengandalkan kearifan lokal dalam menentukan waktu tanam dan varietas tanaman. Akan tetapi, perubahan iklim yang terus terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, menyebabkan cuaca dan iklim menjadi semakin sulit diprediksi. Kondisi ini membuat kearifan lokal tidak lagi cukup untuk memberikan petunjuk yang akurat mengenai waktu tanam dan varietas tanaman yang sesuai. Oleh karena itu, diperlukan langkah terobosan untuk mengatasi permasalahan ini. Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai peran cuaca dan iklim terhadap pertumbuhan tanaman perlu dilakukan melalui intensifikasi literasi serta layanan informasi cuaca dan iklim yang difokuskan pada sektor pertanian. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan menyelenggarakan Sekolah Lapang Iklim (SLI) (Juanda, 2015; Kaimuddin et al., 2018). Sekolah Lapang Iklim (SLI) bertujuan untuk meningkatkan pemahaman informasi iklim bagi penyuluh pertanian dan kelompok tani dalam memanfaatkannya untuk kegiatan bercocok tanam. Program ini diselenggarakan secara berkelanjutan agar dapat meningkatkan produktivitas hasil pertanian sekaligus membantu mengantisipasi variabilitas iklim dan dampak iklim ekstrem di wilayah masing-masing. Penerapan SLI pada komoditas jagung, misalnya, telah menunjukkan hasil rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mengikuti program SLI (Ramadhani et al., 2018). Sementara itu, pada komoditas padi, kegiatan serupa seperti Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) di Kabupaten Tana Tidung berhasil meningkatkan produktivitas padi dari 893 kg/ha menjadi 1.270 kg/ha (Mulyani and Jumiati, 2014). Menurut (Novela et al., 2012), SLI juga mampu meningkatkan pemahaman petani terhadap informasi iklim, baik secara kognitif maupun afektif.     SLI merupakan pendekatan pemberdayaan petani dan petugas penyuluh lapang (PPL/POPT) agar mampu memahami dan memanfaatkan informasi iklim secara efektif untuk mendukung kegiatan pertanian. Melalui kegiatan SLI, diharapkan program peningkatan pemahaman informasi iklim yang diterbitkan BMKG dapat terlaksana dengan baik sehingga PPL/POPT dan petani dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk mendukung pertanian mereka. Selain itu, langkah antisipasi terhadap cuaca atau iklim ekstrem juga dapat dirancang. Pembaruan kegiatan SLI dalam bentuk tematik diharapkan mampu memaksimalkan pendampingan kepada petani dalam memahami informasi yang disediakan oleh BMKG. Efektivitas SLI dalam meningkatkan pemahaman informasi iklim bagi PPL/POPT, petani, dan pihak-pihak terkait, baik dari pemerintah maupun swasta, menjadi tantangan sekaligus harapan. Jika SLI tidak berjalan efektif, maka program ini tidak akan memberikan nilai tambah bagi para pengguna, yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap informasi dari BMKG. Sebaliknya, jika SLI mampu berjalan sesuai harapan, BMKG secara tidak langsung telah menciptakan jaringan informasi iklim informal yang efektif dan andal untuk mendukung keberhasilan sektor pertanian. Author: Dwiki Anugerah Atmojo DAFTAR RUJUKAN Fadlan, A., Safril, A., Veanti, D.P.O., Nugraheni, I.R., Septiadi, D., Harahap, D., Nuraini, N., 2022. Pengetahuan Tentang Iklim dan Cuaca Untuk Kemajuan Pertanian di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Juanda, B.R., 2015. Antisipasi Perubahan Iklim Melalui Pengelolaan Lingkungan Pertanaman Untuk Produksi dan Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Jurnal Penelitian Agrosamudra 2, 61–70. Kaimuddin, Rafiuddin, Musa, Y., 2018. Pembinaan Usahatani Sistem Pertanian Terpadu (Tanaman-Ternak) Berbasis Padi Melalui Sekolah Lapang Iklim (SLI). Jurnal Dinamika Pengabdian 4, 64–71. https://doi.org/10.20956/jdp.v4i1.5282 Mulyani, S.I., Jumiati, dan E., 2014. Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pendekatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) di Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung. AGRIFOR 13, 75–84. https://doi.org/10.31293/af.v13i1.551 Novela, D., Suandi, Farida, A., 2012. Perilaku Petani Terhadap Program Sekolah Lapang Iklim (SLI) dalam Usahatani Padi Sawah (Kasus di Desa Tebing Tinggi Kecamatan Siulak Kabupaten Kerinci dan Desa Koto Panap Kecamatan Tanah Kampung Kota sungai Penuh). Jurnal Ilmiah Sosio-Ekonomika Bisnis 15. https://doi.org/10.22437/jiseb.v15i2.2759 Ramadhani, R., Komariah, K., Sumani, S., Ariyanto, D.P., 2018. Implementasi Sekolah Lapang Iklim dan Dosis Pupuk Terhadap Karakter Kimia Tanah dan Hasil Jagung. Agrosains : Jurnal Penelitian Agronomi 20, 50–55. https://doi.org/10.20961/agsjpa.v20i2.20948 Setiawan, E., 2009. Kajian hubungan unsur iklim terhadap produktivitas cabe jamu (Piper retrofractum Vahl) di Kabupaten Sumenep. Agrovigor: Jurnal Agroekoteknologi 2, 1–7. Suryanto, A., 2019. Pola tanam. Universitas Brawijaya Press.  

Scroll to Top